Dandelion Labil

Bayangkan, jika kamu punya sejuta kebahagiaan dan kamu titipkan pada sebatang dandelion yang rapuh. Lalu, angin semilir menghempaskannya dalam sepersekian detik. Bagaimana rasanya? Huh?

H A M P A

Lalu dandelion itu gundul tanpa mahkotanya. Lalu hatimu akan hampa karena kebahagiaan telah tercerabut tak bersisa. Menari-nari di sela-sela angin semilir yang berhembus. Angin semilir pembunuh. Saat ini rasanya hampa, kosong, tapi entah kenapa hatiku sesak. Semua perasaan berdesakan. Berjejalan masuk dalam jangka waktu satu mikrosekon atau satu-kali-sepuluh-pangkat-negatif-enam alias 0,0000001 detik. Semuanya. Rasa seneng, sedih, pengen ketawa, pengen sendawa, panas, adem, pengen nangis, pengen makan, kenyang, mules. Semuanya.

Capek rasanya, kalau kita mengejar serpihan dandelion sampe dapat. Lalu menunggunya tumbuh, mekar, dan hancur ditiup angin. Mengikutinya. Begitu terus dan seterusnya. Aku ga pengen kaya gitu. Aku pengen duduk, menikmati alam, lalu serpihan dandelion-ku dulu menari-nari di depanku. Lalu kupungut dan kureguk kembali. Kebahagiaanku yang direnggut angin. Lalu kutanam dandelion baru. Dandelion yang indah, yang menari ditiup angin. Membiarkan sejumput kebahagiaan dibawa angin tetapi masih menyimpan tempat untuk kebahagiaan lain. Aku ingin…

Ingin..

sekali…

Tapi, bisakah ?

Ulak-Ulik Buku :) “Libri di Luca”

Libri di Luca : Novel tentang perkumpulan rahasia pecinta buku.
Penulis : Mikkel Birkegaard
Penerbit : Serambi

Novel ini belum tamat aku baca (hahaha :D), aku pinjem dari temenku Mbak Dwi Arianita Wulan Sari dan ada beberapa teman mengantri di belakangku. Awalnya, aku pingin pinjem karena dibaca oleh temenku yang lain (Sandra Logaritma) yang notabene penggila novel fiksi dan berotak fiksi pula :D. Biasanya bacaan anak ini berkualitas 🙂

Novel International Bestseller ini menceritakan tentang kelompok pecinta buku yang mampu mempengaruhi pikiran kita saat kita membaca buku. Perkumpulan ini bernama Lector. Jujur, aku dulu sempet pingin jadi Lector. Mereka bisa memanipulasi pikiran kita, sehingga kita berpikir kalau apa yang ada dalam buku adalah hal yang nyata. Selain itu, mereka juga bisa mempengaruhi kita untuk melakukan apa yang mereka pikirkan dalam benak mereka. Di tangan mereka, buku bisa jadi senjata!

Salah satu anggotanya adalah Luca Campelli, pemilik toko buku antik Libri di Luca. Luca Campelli mati secara mendadak di antara buku-buku di tokonya. Kematian misterius itu menyebabkan Libri di Luca diwariskan kepada anak lelakinya yang seorang pengacara, Jon. Jon sebenarnya tidak mengenal ayahnya. Karena mereka telah berpisah duapuluh tahun lamanya setelah kematian ibu Jon-karena bunuh diri- dan Jon diasuh oleh keluarga ibunya. Kematian Luca diiringi teror misterius yang menyerang toko buku tua itu.

Jon baru tahu jika toko buku itu menyimpan harta terpenting dalam sejarah perbukuan. Selain itu, toko itu juga dipakai buat tempat berkumpulnya para Lector. Mereka yang menjaga tradisi kekuatan besar yang diwariskan semenjak zaman perpustakaan besar Alexandria. Sekarang, seseorang berusaha menghancurkan Libri di Luca serta sejarah dan rahasia di dalamnya. Jon sendiri tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang Lector dengan kekuatan terbesar di antara yang lain.

Jon kini harus berjuang menyelamatkan Libri di Luca dan kisah didalamnya. Dia juga harus menyelamatkan semuanya. Jon harus memikul dua tanggungjawab. Seorang pengacara dengan kasus rumit serta sebagai seorang penyelidik konspirasi rahasia dalam organisasi rahasia. Dia ditemani Katherina, pegawai Libri di Luca pengidap dyslexia serta seorang Lector penerima. Dia juga dibantu Muhammad, imigran generasi kedua asal Turki yang hidup dengan mengikuti kontes undian di internet.

Dapatkah Jon menguak konspirasi di balik Libri di Luca?

You must take this to your have-to-read list!

Teddy Bear and his story :D

Sekilas kalian baca judul post ini, pasti langsung terlintas di benak kalian tentang boneka beruang yang unyuk-unyuk itu. Yap, memang boneka teddy bear sudah sangat populer. Namun, apakah banyak yang tau ada apa dibalik Teddy Bear? Mari kita ulas! 😀

Teddy bear alias Beruang Teddy adalah boneka beruang yang sangat digemari anak-anak -dan orang dewasa- dan sudah sangat populer di dunia. Mungkin yang belum banyak diketahui, Teddy Bear mendapat namanya dari seorang presiden AS. Siapa beliau? Beliau adalah Presiden ke-26 yaitu Theodore Roosevelt yang ber-nickname Teddy.

Apa hubungan Teddy Bear dengan Theodore Roosevelt? Suatu hari pada November 1902 di Mississippi, Roosevelt pergi berburu beruang karena diundang Gubernur Mississippi Andrew Longino. Ada beberapa pemburu lain di sana yang sudah membunuh beberapa satwa. Kemudian, Roosevelt diminta menembak seekor beruang hitam Amerika. Namun, Presiden Roosevelt menolaknya dan memberi si beruang kesempatan untuk hidup 😀

Lalu pada 16 November 1902, kejadian ini menjadi topik pada harian The Washington Post yang memuat kartun kejadian ini yang dibuat oleh Clifford Berryman. Kartun awal dari kejadian ini adalah beruang hitam dewasa yang diikat dengan tali pegangan yang lalu diubah dengan beruang yang lebih kecil dan lebih unyu.

Moris Michtom melihat kartun Roosevelt dan terinspirasi membuat mainan baru. Terciptalah sebuah boneka beruang yang ia beri nama “Teddy’s Bear”. Awalnya, boneka ini dibuat seperti beruang asli dengan moncong panjang dan mata manik-manik. Sekarang, boneka ini memiliki mata yang lebih besar dan dahi serta hidung yang lebih kecil. Figur yang babyface menarik para pembeli hingga Teddy Bear menjadi populer di seantero dunia.

Pertanyaannya adalah : Bagaimana perasaan Pak Teddy Roosevelt jika tahu namanya diabadikan sebagai boneka beruang terpopuler saat ini?

Senang? Bangga? Atau malah minta royalti?

My Strange Poem(s)

Malam menepi, menjauh, lalu pergi
Kau memudar dalam kenangan
Sepi menari-nari sendiri
Membumbung jauh di angan angan

Rindu adalah candu
Cinta adalah tawa
Hisap rindumu, dan kau tak akan bisa lepas darinya..
Nikmati cintamu, dan kau tak akan berhenti merasakannya..

Badai adalah dengki
Jiwa adalah hampa
Jangan biarkan badai mengamuk dalam jiwamu
Karena dengki akan tinggalkan hampa

Cinta adalah candu
Rindu adalah tawa
Biarkan mereka mengalir adanya

Badai adalah hampa
Jiwa adalah dengki
Bunuh aku jika itu yang kau ingini..

Jangan berlari jika kau ingin ku kejar
Jangan
Jangan
Aku sakit kalau kau berlari pergi

Terus disini sampai ku dilelap mimpi
Terus
Disini
Aku takut gelap jika sendiri
Jika sendiri

Fatamorgana
Mimpi dan angan
Melebur
Karenamu…

Teruntuk : Terang yang Kudekap sebelum tidur

Engkaulah gema suara hati yang tak tersampaikan…
Engkaulah pita jingga yang merekah menyongsong pagi hariku…
Engkaulah pancaran sinar kasih yang tak terkatakan…
Engkaulah wangi embun pagi di kelopak mawar basah yang menyejukkan hari kelamku…

Engkaulah terang yang kudekap saat gelap menangkap tubuhku…
Engkaulah kehangatan yang kupeluk saat dinginnya malam menusukku…
Engkaulah ketenangan yang kuteguk saat keramaian mendesakku…
Engkaulah pelita dalam kelam yang terus menerangi dan menghangatkanku…

Sadarkah kau arti pelitamu?
Sadarkah kau arti embun pagi yang kau selimuti?
Sadarkah kau arti suara tanpa jawaban darimu?

Lihatlah dinginnya sepi di balik punggungmu,
Lihatlah kelamnya arti menunggu di bawah hidungmu,
Lihatlah sayatan lukanya yang sangat dan teramat dalam,

Tiada batas menunggu bagimu,
Yang ada hanya batas waktu menuntunku kepadamu,
Karena ketika saat itu tiba…
Aku hanya kabut yang tak tergenggam olehmu,
Dan kau hanya akan menjadi suara tanpa jawaban,

Seandainya waktu itu datang menuntunku menjauh darimu..
Aku hanya ingin kau tahu,

Kaulah embun pagi yang menyejukkan hari-hariku…

ditulis dalam malam tanpa Sirius dan Orion

(Not) A Short Story : Sebuah Ilusi part 1

Aku kembali terkulai lemas di kamarku. Seperti biasanya, aku pulang dari kampus selewat tengah malam. Jam kodokku menunjukkan pukul 01.00 malam. Tugas dari para dosen yang menggunung semakin menambah beban di pundakku dan membuatku semakin terlihat depresi. Aku pun mulai tertidur dibuai heningnya malam. Lingkaran mimpiku datang dan membentang jauh bagaikan tak bertepi. Di ujung relung mimpiku, ku lihat seorang yang terlihat semu dan semakin semu jika ku dekati.
Tiba-tiba aku terjaga dari mimpiku. Mimpi yang aneh. Aku seakan melihat seorang gadis membelakangiku. Dia memainkan piano dengan nada melankolis yang mengiris hatiku. Aku mencoba mendekatinya, tetapi dia semakin menjauh dan akhirnya aku jatuh tersungkur di hijaunya rerumputan. Itulah yang membuatku terbangun dari mimpi anehku. Anehnya lagi, saat aku terbangun masih kudengar sayup-sayup dentingan pianonya yang membuatku penasaran. Aku pun mencoba mencari asal suara itu. Ku buka jendela kamarku dan kubiarkan angin malam berhembus menerpa wajah kusutku. Namun bukan denting piano yang kudengar, melainkan nyanyian jangkrik dan orkestra kodok yang berpadu dalam konser tengah malam saat ini. Angin membawa pekatnya malam dan menebarkan bau basah yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Aku menutup kembali jendela kamarku. Namun, aku masih penasaran dengan dentingan piano tadi. Ku lihat dari kaca jendela kamarku tengah malam yang terang benderang dengan bulan yang berseri dan taburan bintang yang berkilauan. Semua rumah disekitarku gelap gulita karena tak ada satupun orang yang berjaga selarut ini. ”Mustahil ada orang bermain piano selarut ini. Siapakah gerangan pemain piano itu?” gumamku dalam hati.
Aku tetap tak bisa memejamkan mataku yang semakin memerah ini. Dentingan nada pilu dari piano misterius itu masih terngiang di telingaku. Lama-kelamaan mataku menyerah pada ilusi piano itu. Setelah seharian bergumul dalam berbagai kegiatan di kampus, akhirnya aku tertidur pulas.
***
Keesokan harinya, matahari sudah memanjat kaki langit hingga ke lututnya. Sinarnya sudah menembus kaca jendela kamarku yang retak dimakan usia dan memenuhi kamarku yang apek. Jarum pendek jam kodokku bertengger di antara angka 10 dan 11. Aku kesiangan. Tanpa ragu lagi, aku melompat dari tempat tidurku yang reyot. Ku sambar handukku dan meluncur menuju kamar mandi. Style mandiku kali ini meniru burung walet. Hanya sekali kubasuh dengan air, lalu sudah. ”Tak apa. Yang penting aku sudah mandi.”ujarku.
Seusai mandi, aku langsung memakai pakaian ku yang biasa. Kemeja lengan panjang dan celana panjang. Ku sambar tasku yang di dalamnya berdesakan sejumlah buku catatan dan diktat kuliah. Segera kutinggalkan kamarku dan turun menuju meja makan. Sialnya, tak ada nasi atau makanan apapun di bawah tudung saji berenda itu. Hanya ada sepiring pisang goreng yang sudah dingin. Itupun sudah diklaim oleh para prajurit semut. Ibuku muncul dari arah depan rumahku.
”Mam, kok nggak ada makanan sih?” tanyaku.
”Oh ya, Mama ada rapat dengan ibu-ibu PKK. Makanya, Mama belum sempat masak sarapan. Lagipula, tokonya Pak Soleh kan lagi tutup. Beliaunya lagi pergi umroh sekeluarga. Ini, Mama kasih uang. Nanti kamu makan di warteg di deket kampus aja ya, nak.” jawab Mama.
”Oke deh, Mam. Assalamualaikum.” kataku seraya mencium tangannya dan berpamitan.
”Waalaikumsalam warohmatullah. Hati-hati di jalan.”
Sayangnya, aku sudah berlari dan menyambar kunci motor Ducati-ku. Aku pun menaiki motor Ducati-ku dengan gagah dan penuh wibawa. Kubayangkan diriku seperti pangeran kerajaan yang menunggang kudanya yang gagah perkasa. Segera kubuyarkan khayalanku dan menghidupkan mesin motorku. Aku pun membelah suasana kota yang ramai, padat, dan penuh polusi.
Di simpang empat aku berhenti. Di depanku berdiri seorang anak kecil, usianya kira-kira sembilan tahun. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya berkilau oleh peluh yang mengalir bagai anak sungai di lehernya yang jenjang. Ia berjalan kesana kemari, dari satu pintu mobil ke pintu mobil yang lain. Ia berjalan sambil menggendong setumpuk koran dan menjajakannya pada pengguna jalan yang sedang berhenti sejenak.
”Apakah anak itu tidak sekolah?” pikirku.
”Mas, beli korannya. Cuma 1000 rupiah..” ucapnya seraya promosi.
Ku rogoh saku celanaku. Ada selembar dua puluh ribuan pemberian Mama tadi. Kuputuskan untuk memberikannya pada penjual koran junior ini. Setidaknya, dia lebih membutuhkan daripada aku. Kutukar uangku dengan selembar koran dengan berita basi. Masa bodoh dengan beritanya, niatku hanya ingin beramal.
”Waduh, maaf Mas. Tidak ada kembaliannya. Uang kecil aja, Mas.” ujarnya.
”Tidak usah. Kembaliannya buat kamu aja.” ucapku sambil tersenyum.
”Terimakasih banyak, Mas.” balasnya dengan senyuman pula.
Lampu merah berganti hijau, tanda bagiku untuk siap kembali membelah keramaian kota ini. Aku kembali memacu Ducati-ku layaknya Casey Stoner, pembalap handal yang digilai hampir semua wanita di dunia. Ducati-ku melesat secepat kilat tanpa ada niat dariku untuk menurunkan kecepatannya. Setibanya di areal parkir kampusku, aku langsung memarkirkan Ducati-ku di tempat yang nyaman dan terhindar dari paparan panas matahari. Aku berlari menuju kelasku di lantai tiga kampus C. Jaraknya sekitar 80 meter dari areal parkir dan bisa kutempuh selama 3 menit dengan berlari. Aku berlari menaiki tangga dan air mancur sambil melihat jam tanganku yang basah oleh keringatku. Layar digitalnya menunjukkan angka 10:58. Pikiranku melayang dan nyaliku menciut mengingat mata kuliah kali ini disampaikan oleh Pak Harry, dosen yang terkenal paling killer di seantero Universitas Lintang Buwana, kampusku. Kumis dan alisnya yang hitam dan tebal bagaikan sikat sepatu semakin menambah kesan seram pada wajah Pak Harry. Aku terus berlari bagaikan dikejar anjing gila. Keringat membasahi kemejaku dan menghapus bau wangi parfumku tadi pagi. Secara tidak sengaja, aku menabrak seorang gadis yang ternyata Nia, pacarku tiga bulan terakhir ini. Selain pacarku, Nia juga temanku sefakultas di kampus ini.
”Kenapa kamu lari-lari sampai berkeringat seperti itu?” tanya Nia dengan ekspresi jijik melihat keringat yang membasahi pakaianku.
”Kamu sendiri kenapa nggak masuk kelas? Sekarang kan waktunya Pak Harry?” tanyaku pada Nia dengan nafas tercekik.
”Kamu nggak tahu? Kelasnya kan ditunda sampai jam 12 nanti. Pak Harry lagi rapat sama rektor dan menteri pendidikan di Gedung Rektorat.” jawab Nia dengan lirikan yang terkesan sangat mengganggu.
Lalu, Nia mengajakku ke kantin di sebelah timur kampus. Aku terkejut bukan kepalang bagai disambar petir di siang bolong. Sally, temanku, berdiri membelakangiku di pintu perpustakaan. Dari belakang, bentuk tubuh dan rambut panjangnya yang bergelombang dan terurai terlihat amat mirip dengan sosok gadis pemain piano misterius dalam mimpiku semalam. Sally adalah sahabat dekat Nia. Mereka sudah saling mengenal dan selalu bersama sejak SMA. Sebenarnya,aku dan Nia jarang sekali akur. Kami hampir selalu terlibat cekcok mulut. Hampir tiap hari kami bertengkar akibat permasalahan yang tidak jelas penyebabnya. Nia adalah gadis yang egois, mau menang sendiri, suka mengatur, dan over-protective. Dia pernah cemburu ketika aku menolak mengantarnya ke salon. Saat itu dia memergokiku pergi ke toko kue bersama Lely, sepupuku. Padahal, aku dan Lely sedang mempersiapkan pesta ulangtahun adikku dan kami hanya membeli kue tart untuk pesta adikku. Nia marah padaku sampai tiga hari. Dia tidak membalas sms-ku, menjawab teleponku, bahkan tidak mau keluar ketika aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Jika aku dan Nia bertengkar, Sally-lah yang pontang-panting kerepotan mempersatukan kami kembali. Sally adalah sahabat yang baik sekali. Sally itu gadis yang lembut, sabar, dan cantik bagaikan bidadari dari kahyangan. Tidak seperti Nia yang cerewet dan egois bagaikan musang berbulu domba. Aku heran mengapa dua pribadi yang berbeda bagai bumi dan langit bisa tetap bersahabat selama 4 tahun lamanya. Aku heran mengapa aku malah berpacaran dengan Nia yang kasar seperti musang dan tidak menjalin asmara dengan Sally yang lembut layaknya bidadari.
”Kenapa aku milih Nia? Kenapa bukan Sally?” gumamku.
”Ah, kenapa aku jadi memikirkan Sally? Tapi, apa hubungan Sally dengan mimpiku semalam?” runtukku dalam hati.

(to be continued..)