Aku kembali terkulai lemas di kamarku. Seperti biasanya, aku pulang dari kampus selewat tengah malam. Jam kodokku menunjukkan pukul 01.00 malam. Tugas dari para dosen yang menggunung semakin menambah beban di pundakku dan membuatku semakin terlihat depresi. Aku pun mulai tertidur dibuai heningnya malam. Lingkaran mimpiku datang dan membentang jauh bagaikan tak bertepi. Di ujung relung mimpiku, ku lihat seorang yang terlihat semu dan semakin semu jika ku dekati.
Tiba-tiba aku terjaga dari mimpiku. Mimpi yang aneh. Aku seakan melihat seorang gadis membelakangiku. Dia memainkan piano dengan nada melankolis yang mengiris hatiku. Aku mencoba mendekatinya, tetapi dia semakin menjauh dan akhirnya aku jatuh tersungkur di hijaunya rerumputan. Itulah yang membuatku terbangun dari mimpi anehku. Anehnya lagi, saat aku terbangun masih kudengar sayup-sayup dentingan pianonya yang membuatku penasaran. Aku pun mencoba mencari asal suara itu. Ku buka jendela kamarku dan kubiarkan angin malam berhembus menerpa wajah kusutku. Namun bukan denting piano yang kudengar, melainkan nyanyian jangkrik dan orkestra kodok yang berpadu dalam konser tengah malam saat ini. Angin membawa pekatnya malam dan menebarkan bau basah yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Aku menutup kembali jendela kamarku. Namun, aku masih penasaran dengan dentingan piano tadi. Ku lihat dari kaca jendela kamarku tengah malam yang terang benderang dengan bulan yang berseri dan taburan bintang yang berkilauan. Semua rumah disekitarku gelap gulita karena tak ada satupun orang yang berjaga selarut ini. ”Mustahil ada orang bermain piano selarut ini. Siapakah gerangan pemain piano itu?” gumamku dalam hati.
Aku tetap tak bisa memejamkan mataku yang semakin memerah ini. Dentingan nada pilu dari piano misterius itu masih terngiang di telingaku. Lama-kelamaan mataku menyerah pada ilusi piano itu. Setelah seharian bergumul dalam berbagai kegiatan di kampus, akhirnya aku tertidur pulas.
***
Keesokan harinya, matahari sudah memanjat kaki langit hingga ke lututnya. Sinarnya sudah menembus kaca jendela kamarku yang retak dimakan usia dan memenuhi kamarku yang apek. Jarum pendek jam kodokku bertengger di antara angka 10 dan 11. Aku kesiangan. Tanpa ragu lagi, aku melompat dari tempat tidurku yang reyot. Ku sambar handukku dan meluncur menuju kamar mandi. Style mandiku kali ini meniru burung walet. Hanya sekali kubasuh dengan air, lalu sudah. ”Tak apa. Yang penting aku sudah mandi.”ujarku.
Seusai mandi, aku langsung memakai pakaian ku yang biasa. Kemeja lengan panjang dan celana panjang. Ku sambar tasku yang di dalamnya berdesakan sejumlah buku catatan dan diktat kuliah. Segera kutinggalkan kamarku dan turun menuju meja makan. Sialnya, tak ada nasi atau makanan apapun di bawah tudung saji berenda itu. Hanya ada sepiring pisang goreng yang sudah dingin. Itupun sudah diklaim oleh para prajurit semut. Ibuku muncul dari arah depan rumahku.
”Mam, kok nggak ada makanan sih?” tanyaku.
”Oh ya, Mama ada rapat dengan ibu-ibu PKK. Makanya, Mama belum sempat masak sarapan. Lagipula, tokonya Pak Soleh kan lagi tutup. Beliaunya lagi pergi umroh sekeluarga. Ini, Mama kasih uang. Nanti kamu makan di warteg di deket kampus aja ya, nak.” jawab Mama.
”Oke deh, Mam. Assalamualaikum.” kataku seraya mencium tangannya dan berpamitan.
”Waalaikumsalam warohmatullah. Hati-hati di jalan.”
Sayangnya, aku sudah berlari dan menyambar kunci motor Ducati-ku. Aku pun menaiki motor Ducati-ku dengan gagah dan penuh wibawa. Kubayangkan diriku seperti pangeran kerajaan yang menunggang kudanya yang gagah perkasa. Segera kubuyarkan khayalanku dan menghidupkan mesin motorku. Aku pun membelah suasana kota yang ramai, padat, dan penuh polusi.
Di simpang empat aku berhenti. Di depanku berdiri seorang anak kecil, usianya kira-kira sembilan tahun. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya berkilau oleh peluh yang mengalir bagai anak sungai di lehernya yang jenjang. Ia berjalan kesana kemari, dari satu pintu mobil ke pintu mobil yang lain. Ia berjalan sambil menggendong setumpuk koran dan menjajakannya pada pengguna jalan yang sedang berhenti sejenak.
”Apakah anak itu tidak sekolah?” pikirku.
”Mas, beli korannya. Cuma 1000 rupiah..” ucapnya seraya promosi.
Ku rogoh saku celanaku. Ada selembar dua puluh ribuan pemberian Mama tadi. Kuputuskan untuk memberikannya pada penjual koran junior ini. Setidaknya, dia lebih membutuhkan daripada aku. Kutukar uangku dengan selembar koran dengan berita basi. Masa bodoh dengan beritanya, niatku hanya ingin beramal.
”Waduh, maaf Mas. Tidak ada kembaliannya. Uang kecil aja, Mas.” ujarnya.
”Tidak usah. Kembaliannya buat kamu aja.” ucapku sambil tersenyum.
”Terimakasih banyak, Mas.” balasnya dengan senyuman pula.
Lampu merah berganti hijau, tanda bagiku untuk siap kembali membelah keramaian kota ini. Aku kembali memacu Ducati-ku layaknya Casey Stoner, pembalap handal yang digilai hampir semua wanita di dunia. Ducati-ku melesat secepat kilat tanpa ada niat dariku untuk menurunkan kecepatannya. Setibanya di areal parkir kampusku, aku langsung memarkirkan Ducati-ku di tempat yang nyaman dan terhindar dari paparan panas matahari. Aku berlari menuju kelasku di lantai tiga kampus C. Jaraknya sekitar 80 meter dari areal parkir dan bisa kutempuh selama 3 menit dengan berlari. Aku berlari menaiki tangga dan air mancur sambil melihat jam tanganku yang basah oleh keringatku. Layar digitalnya menunjukkan angka 10:58. Pikiranku melayang dan nyaliku menciut mengingat mata kuliah kali ini disampaikan oleh Pak Harry, dosen yang terkenal paling killer di seantero Universitas Lintang Buwana, kampusku. Kumis dan alisnya yang hitam dan tebal bagaikan sikat sepatu semakin menambah kesan seram pada wajah Pak Harry. Aku terus berlari bagaikan dikejar anjing gila. Keringat membasahi kemejaku dan menghapus bau wangi parfumku tadi pagi. Secara tidak sengaja, aku menabrak seorang gadis yang ternyata Nia, pacarku tiga bulan terakhir ini. Selain pacarku, Nia juga temanku sefakultas di kampus ini.
”Kenapa kamu lari-lari sampai berkeringat seperti itu?” tanya Nia dengan ekspresi jijik melihat keringat yang membasahi pakaianku.
”Kamu sendiri kenapa nggak masuk kelas? Sekarang kan waktunya Pak Harry?” tanyaku pada Nia dengan nafas tercekik.
”Kamu nggak tahu? Kelasnya kan ditunda sampai jam 12 nanti. Pak Harry lagi rapat sama rektor dan menteri pendidikan di Gedung Rektorat.” jawab Nia dengan lirikan yang terkesan sangat mengganggu.
Lalu, Nia mengajakku ke kantin di sebelah timur kampus. Aku terkejut bukan kepalang bagai disambar petir di siang bolong. Sally, temanku, berdiri membelakangiku di pintu perpustakaan. Dari belakang, bentuk tubuh dan rambut panjangnya yang bergelombang dan terurai terlihat amat mirip dengan sosok gadis pemain piano misterius dalam mimpiku semalam. Sally adalah sahabat dekat Nia. Mereka sudah saling mengenal dan selalu bersama sejak SMA. Sebenarnya,aku dan Nia jarang sekali akur. Kami hampir selalu terlibat cekcok mulut. Hampir tiap hari kami bertengkar akibat permasalahan yang tidak jelas penyebabnya. Nia adalah gadis yang egois, mau menang sendiri, suka mengatur, dan over-protective. Dia pernah cemburu ketika aku menolak mengantarnya ke salon. Saat itu dia memergokiku pergi ke toko kue bersama Lely, sepupuku. Padahal, aku dan Lely sedang mempersiapkan pesta ulangtahun adikku dan kami hanya membeli kue tart untuk pesta adikku. Nia marah padaku sampai tiga hari. Dia tidak membalas sms-ku, menjawab teleponku, bahkan tidak mau keluar ketika aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Jika aku dan Nia bertengkar, Sally-lah yang pontang-panting kerepotan mempersatukan kami kembali. Sally adalah sahabat yang baik sekali. Sally itu gadis yang lembut, sabar, dan cantik bagaikan bidadari dari kahyangan. Tidak seperti Nia yang cerewet dan egois bagaikan musang berbulu domba. Aku heran mengapa dua pribadi yang berbeda bagai bumi dan langit bisa tetap bersahabat selama 4 tahun lamanya. Aku heran mengapa aku malah berpacaran dengan Nia yang kasar seperti musang dan tidak menjalin asmara dengan Sally yang lembut layaknya bidadari.
”Kenapa aku milih Nia? Kenapa bukan Sally?” gumamku.
”Ah, kenapa aku jadi memikirkan Sally? Tapi, apa hubungan Sally dengan mimpiku semalam?” runtukku dalam hati.
(to be continued..)