Lupa

Aku ingin lupa
Karena semua berkata
Cara termudah menghadapi luka
Adalah dengan lupa

Aku ingin lupa
Lupa rasanya
Lupa namanya
Lupa kenangannya
Lupa semuanya

Aku ingin lupa
Membuang hidupku yang lama
Mengulang baru segalanya
Menulis ulang semaunya

Aku ingin lupa
Benar-benar ingin lupa
Semuanya akan lebih mudah
Kalau aku lupa
Dan tidak ingat semuanya

Katanya
“Jangan. Masih ada hal-hal yang indah.
Kamu mau lupa juga?”

Kataku
“Iya. Buat apa?”
Aku rela menjual itu semua yang kata orang indah
Asalkan yang ikut menghilang itu adalah luka
Karena mungkin yang indah itu fana
Tapi rasa sakit ini nyata
Meski lukanya tak kasat mata

Mungkin dia akan bertanya,
“Kenapa kamu ingin lupa?”

Sederhana saja,
“Karena ingin tiada, kita tak bisa.”

Remembering: Selamat tidur

Selamat, malam.
Selamat, tidur.

Lalu dia berbaring,
Sama seperti yang lain.

Malam itu kembali ia tatap langit-langit
Untuk kesekian kalinya.
Langit bukan batasnya, orang bilang.
Tapi langit-langit ini batasku, balasnya.

Hanya satu bait pendek
Tapi pagi sudah tiba


Selamat, malam.

Kembali ia berbaring.

Di malam yang lain, ia berbaring.
Menyamping ke kanan seperti yang orang bilang.
Di nakas sampingnya, ia terpaku menatap arloji.
Tik. tik. tik.
Seolah menghitung.
Nol, satu, dua, tiga.
Tiga, dua, satu, nol.
Entah apa yang arloji itu hitung.
Entah apa yang ia hitung.
Apa yang tiga.
Apa yang dua.
Apa yang satu.
Apa yang nol.
Entah. Ia tak tahu.

Di nol yang kesekian
Pagi pun tiba


Selamat, malam.

Berbaring.

Bukan karena dia ingin.
Bukan karena dia butuh.
Bukan karena dia harus.
Tapi semata-mata seolah telah jadi refleks untuknya.
Ini malam. Ia harus berbaring.

Sejujurnya ia ingin bicara.
Tapi pada siapa?
Ini jam dua malam, sinting. Ucapnya.

Lalu akhirnya ia bercengkrama.
Pada layar ponselnya.
Dalam ruang obrolan tanpa anggota.
Berharap cahaya yang masuk matanya.
Bisa menjelma menjadi lelah.

Tapi bukan lelah yang tiba
Melainkan pagi yang berikutnya.


Selamat, malam.

Sudah jangan tanya kenapa ia berbaring lagi.
Dia juga tak tahu.

Yang ia tahu ini malam.
Tapi jangan tanya bagaimana malam ini terasa.
Bahkan hari ini bagaimana, ia pun tak tahu.
Kamar yang pucat dan kecil ini seolah dunia baginya. Atau penjara.

Tak usahlah aku keluar, toh kalau hujan aku dengar rintiknya.
Begitu katanya tadi siang.

Banyak yang terlewat.
Mungkin tadi pagi ada kabut yang pekat.
Mungkin sekarang dingin tengah merambat.
Atau bintang-bintang sedang berkedip lambat.

Ia tak tahu.
Ia tak mau tahu.

Yang ia tahu, sinar keemasan menerobos jendela kecilnya.
Tanda pagi yang lain telah tiba.


Selamat, malam.

Akhirnya ia merasakan mimpi.
Tandanya berbaring lebih dalam.

Tapi apakah ini benar-benar mimpi?
Rasanya sama persis dengan yang ia lihat sehari-hari.
Oh, bukan. Lihat apa itu yang tergeletak di lantai.
Wah, sepertinya menarik.

Layar mati.
Adegan berganti.

Apakah ini benar-benar mimpi?
Tadi ia berbaring tapi kini ia duduk di tepi
Apa ini yang ada di kaki?
Rasanya hangat.
Apakah ini besi?
Oh, bukan.

Ini hanya delusi. Katanya tegas.
Ini bukan mimpi. Karena ia sepenuhnya terjaga.

Kemudian ia panik.
Ada yang datang lagi, tanpa permisi.
Dan ini setengah dua pagi.
Ia ambil ponselnya.
Mengetik satu nama.
Ruang obrolan tanpa anggota.

Solusimu cuma satu, tidur.
Kata orang di sana.
Ya, katanya.
Kata dirinya.

Lalu ia pejamkan mata
Sambil merapalkan doa,
“Ya Tuhan, aku ingin tidur. Izinkanlah, Tuhan. Kumohon.”

Ia tahu pasti tidak ada orang di sana,
Tapi dengan sangat amat yakin ia berbisik

“Selamat tidur.”