Words in my head = knives in my heart

Kalau pernah denger Human-nya Christina Perri pasti ngga asing sama frasa di judul. Di bacotan kali ini entah kenapa pengen nulis (nggrundel -trans. menggerutu lebih tepatnya) tentang basa-basi yang basi beserta dampaknya terhadap kehidupan umat masyarakat. Aku sekadar pengen nulis tentang omongan orang yang sempat ‘menyentil’ dengan tidak hormat ke dalam relung hatiku yang semi-sensitif ini wkwk

Dulu, aku adalah orang terbodoamat yang pernah ada. Mau orang ngomong apa, aku bakal tetap lanjutin apa yang pengen aku lakuin asalkan ngga ngerugiin orang lain. Tapi entah sejak kapan, aku jadi mulai mikirin omongan orang. Dan beberapa omongan itu ada yang aku inget sampai sekarang karena dampak emosionalnya cukup besar.


Yang pertama ini dampak emosionalnya lumayan dalem, guys. Kadang kalau inget masih suka sedih. Hehe.

Kejadiannya di sekitar tahun 2016. Sebagai prolog, aku pernah cerita di post sebelumnya kalau aku ini anaknya ketu alias kecil tua dan nge-plan segala sesuatu sebelum ngapa-ngapain. I’d always set the target before take the first step. Termasuk dalam dunia pendidikan. Aku udah nge-set goal-ku setelah lulus kuliah beserta beberapa tahun setelahnya sejak aku mutusin mau kuliah dimana, which is itu sekitar waktu aku kelas 11. Kebayang dong gimana mataku udah terfokus pada satu hal itu. (1st mistake found: not making alternative plans)

I’m not gonna tell you what the plan is, because it still hurts knowing that I have to let go of that so-called dream. It’s really painful to see the one who always shouted “we should never give up on our dreams” turned to be a quitter. Hope none of you have to overcome the same feeling. *mengelap mata dengan tisu*

Kembali ke garis besar cerita, di 2016 itu aku ketemu sama seseorang yang cukup terpandang lah. Sejujurnya sudah sejak lama aku notice kalau way of life kami beda. Kami memegang prinsip yang berbeda. Kami berdiri di tempat berbeda dan kami memandang dunia dengan cara yang berbeda. But still I respect them. (singular ya, ini biar gender-independent aja hehe). Memancinglah beliau dengan pertanyaan “Abis lulus mau ngapain?”. Dengan kepala tegak, menjawablah aku, “Mau [redacted1] lalu [redacted2] setelah itu [redacted3].” Mantap banget dong, iya lah udah disiapin dari 3 tahun sebelumnya. *sombong*

Dan respon beliau, “Kamu ngga kasihan sama orangtua kamu? Liat semenjak kamu kuliah di Bandung, berapa kali orangtuamu sakit.”

I’ve always considered myself as a selfish person, tapi aku nggak pernah secara serius nganggep diriku egois kecuali di titik itu. Aku diam karena otak-ku nge-hang. Dan sadly, orangtuaku memang beberapa kali sakit semenjak aku kuliah. Aku ngerasa menghidupi mimpiku ternyata salah. Ternyata prinsip aku bahwa hidup harus ngejar keinginan kamu itu salah. Itu semua cuma tindakan egois. And I made my own sacrifice. I threw that big dream to a trash can.

Dan pribadiku berubah drastis semenjak itu. Orang lain mungkin ngga notice, tapi aku ngerasa banget kata-kata itu bikin aku jadi orang yang berbeda. Aku yang dulu kayak nggak bakal kenal sama aku yang sekarang. Semenjak itu, haluanku rasanya hilang. Kehidupan akademikku sempat berantakan selama dua semester. Karena aku mikir, “Buat apa aku capek-capek lari, kalau aku tahu aku nggak bakalan sampai”. Untungnya, aku segera sadar (nggak segera deng, kan dua semester) kalau aku berusaha di kuliah nggak semuanya cuma buat [redacted].

Tapi yang jelas karena omongan tersebut, mimpiku nggak pernah kembali. Aku yang seorang pemimpi juga nggak pernah kembali.


Nah, yang kedua ini adalah alasan aku nulis ini sebenarnya. Entah kenapa tiba-tiba keinget dan jadi kesal kembali hehe. Kalau yang tadi ada hawa-hawa mellow-nya, yang ini emosinya lebih ke arah amarah. Wkwkwk

Kita semua tahu lah, ya. Kadang momen lebaran itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Ya gimana nggak sebel kalau terus-terusan dicecar sama pertanyaan basa-basi yang nggak dianggap penting sama penanya tapi bikin sakit hati yang ditanya. Pasti khatam dong daftar pertanyaannya.

Kapan wisuda? Kalau udah sidang.

Kapan nikah? Kalau udah akad.

Calonnya mana? Masih di masa depan.

Sekarang gendutan ya? Alhamdulillah.

Ini adalah jawaban aku setiap ditanya orang-orang. Agak gedek tapi rasanya nggak ada yang lebih gedek dari celetukan seseorang di lebaran 2018 lalu.

“Sekarang gendut banget ya? Iya, lah. Pasti di Bandung kerjaannya makan sama tidur doang, kan?

I’m totally fine to be called gendut, item, dekil or whatsoever. Ya karena emang begitu adanya. Tapi aku kesel kalau ada embel-embel yang menurut aku nggak bener apalagi yang mengarah ke meremehkan.

Aku pernah bilang sih ke beberapa orang, aku bisa tersinggung sama jokes, “Kamu ngapain mandi? Kayak biasanya mandi aja. Mandi, nggak mandi, juga tetep dekil kok”. Sensitif, ya? Emang. Enak aja dibilang kayak biasanya mandi aja. Nggak tahu aja dia aku harus mandi 2 sampai 4 kali sehari. Tapi ini masih tolerable, lah. Masalah mandi doang.

Tapi dikatain gendut dengan embel-embel di Bandung makan sama tidur doang itu menyakitkan, dude. Apalagi aku hidup di lingkungan yang biasanya selepas SMA, anak tuh udah kerja dan ngasih ke orangtua. Dibilang kayak gitu, aku ngerasa kayak disindir dan dianggap jadi beban orangtua.

Yang lebih menyakitkan sebenarnya bahwa mengetahui apa yang aku lakuin di tanah rantau sama sekali nggak dilihat. Ya, emang aku nggak cerita ke semua orang alasan aku gendut. Aku nggak cerita kalau aku gendut karena di weekdays selalu makan di atas 9 malam karena sibuk nugas sama himpunan. Aku nggak bilang kalau di weekend aku masih harus makan tengah malam karena masih di jalan harus otw Bandung-Cibubur demi nyari uang tambahan. Orang lain selain keluargaku, nggak tahu kalau dibalik aku yang gendut karena dikira makan-tidur-kayak-babi itu berjuang supaya financially independent. Orang nggak tahu, karena aku nggak cerita. Aku nggak cerita, karena itu nggak relevan.

Yang aku nggak habis pikir, kok orang bisa ya basa-basi dengan kata-kata yang se-irelevan itu? Rasanya basa-basi “Hari ini cerah, ya.” terdengar lebih enak meskipun membosankan.

(Note: aku diet bukan karena itu ya guys meskipun mungkin ada andilnya)


Poin yang pengen aku sampein adalah mind your words because your words matter. Pengingat juga buat aku yang kadang bercandanya kelewatan 😦

Inget, kita nggak pernah tahu ada apa di balik senyum seseorang. Mungkin dia nyimpen luka. Mungkin dia struggle sama dirinya sendiri. Jangan sampai kata-kata basa-basi yang kita ucap tanpa dipikir itu jadi bahan pikiran orang. Jangan sampai kejadian our words in their head become knives in their heart. Jangan sampai kita ‘ngebunuh‘ persona seseorang dan ngebuang mimpinya. Kita sebenarnya udah cukup khatam kok dengan resikonya. Cuma kadang kita abai aja sama itu semua.

Ih tapi kan aku nggak maksud kayak gitu

Kamu nggak bermaksud kayak gitu bukan berarti lukanya ilang, sayang 🙂 Coba nih tanganmu tak silet terus aku bilang “Aduh aku nggak bermaksud nyilet tanganmu.” Apakah lukanya ketutup? Oh, tentu tidak. Makanya mind your words. Karena kita nggak bisa unheard apa yang udah masuk otak. Begitu pun orang lain.

Buat yang ngomong, “Yaudah sih nggak usah dipikirin,” “Mikirin banget sama omongan orang”. Cuy, it’s easier said than done. Buat kamu gampang nggak mikirin, buat orang lain belum tentu. Buat kamu sekarang gampang buat bodo amat, buat kamu besok belum tentu. Baca prolog aku deh, and see what I’ve become 🙂

Sekali lagi, mind your words. Your words matter.