Enough

I am enough.

Not for stopping my growth.

But for accepting my worth.

I am enough.

To shine in my own light,

To deserve the things I feel right.

I am enough.

Maybe not for anyone.

Not even for someone.

But shame on them,

Because the aren’t lucky enough,

To have this gem.

I am enough.

And I hope that someday,

I’ll be proud enough

To say, “I am happy enough to be enough.”

6. タンポポの決心 : Keteguhan Hati Dandelion

線路脇にタンポポが咲いていた
永かった冬が終わり,待ちわびた春が来たんだ
陽射しの道を歩き
恋でもしようか

Sekuntum bunga dandelion yang mekar di pinggir rel

Musim dingin yang panjang telah usai, dan musim semi yang ku nanti telah tiba

Melangkah di jalanan yang terang

Akankah ku jatuh cinta?

こんな場所にタンポポが咲くなんて
生命力の強さとひたむきさ教えられたよ
なぜか 目頭が熱くて…
夢や希望や未来はここにある
雑草の中の命は逞しく育ってゆくよ
日陰もいつの日にか日向になるんだ

Bunga dandelion pun bisa mekar di tempat ini

Aku serasa diajari arti kesungguhan dan tekad hidup yang kuat

Mengapa mata ini menjadi panas…

Mimpi, harapan, dan kesempatan yang ada di sini

Jiwa dalam rumput liar itu dengan kokohnya membimbing diri ini

Suatu saat bayangan ini akan menjadi cahaya

気づかなかったタンポポが揺れている
誰の心の中にもささやかな
その可能性日常に忘れていたよ
思い悩み落ち込んだ寒い日々
当たり前の躓きに立ち上がる若き力よ
弱さもいつの日にか強さになるんだ

Bunga dandelion yang tak ku sadari sedang bergoyang dengan rendah hati di dalam jiwa

Siapapun itu yang mudah dilupakan di keseharian yang kita jalani

Saat hati cemas dan terjatuh di hari yang dingin

Dan saat diriku sedang tersandung

Ku akan bangkit dengan semangat muda

Suatu saat kelemahan ini akan menjadi kekuatan

5. Awan

Awan selalu datang dan pergi dengan bebasnya

Belajar apakah kalian darinya?

Bahwa tidak ada yang tinggal untuk selamanya

Manusia, masalah, sukacita, semua datang, tinggal sebentar atau lama, lalu berjalan lagi

Seolah tidak terjadi apa-apa?

Jadi?

Jangan terlalu bahagia karena sebuah pertemuan dan jangan terlampau sedih atas sebuah perpisahan

Semua normal dan semua proses kehidupan

4. Me & My Changes

Disclaimer : ditulis berbulan-bulan lalu, sekitar April 2020

Randomly thinking, kayaknya aku udah banyak berubah, for better or worse. Seenggaknya itu yang aku rasain. Aku enam tahun lalu udah banyak berubah dibanding aku sembilan tahun lalu. Aku dua tahun lalu udah bayak berubah dibanding aku enam tahun lalu. And I’m even not the same person with the childhood me. We’re like on the opposite pole.

Back then, I never was a quitter. No matter how hard it was, no matter what were people talking behind my back, I always went on and gave my best shot. Now? I don’t even dare to try. I can’t even be a quitter since I have nothing to quit. I don’t even start.

Banyak hal yang aku udah berhenti lakuin. Maintaining a good relationship and making close friends are good examples. Aku bahkan udah ‘berhenti ngasih kabar’ ke beberapa temen deket. Dipikir lagi, rasanya aku nggak mau merasa ‘harus dikabari’ sama temen, makanya aku berhenti. Aku berhenti bikin temen deket, bahkan aku nggak punya temen deket di tempat kerja. Karena aku tahu, pada akhirnya, mau ngapain juga, aku bakalan sendiri. We’ll fight alone in our own battlefield.

Banyak hal terjadi. Kalau ditanya kenapa berubah, ya aku nggak tahu. Mungkin karena lingkungan? Dissappointments? Regrets? Yang jelas aku berubah. And the most uncomfortable thing about change isn’t the change itself, but knowing that the self you are facing right now is slowly dragged from the ‘you’ that you’d ever known.

Tapi ada yang pernah bilang, your true self is never changing. Mungkin selama ini aku bukan the true me. Makanya aku ngerasa ‘berubah’ padahal mungkin aku lagi showing my true colors.

3. Dewasa

Dulu waktu kecil, aku ingin segera dewasa

Kelihatannya bebas, keren, berkarisma, berwibawa, dan hal-hal menyenangkan lainnya

Lalu setahun demi setahun berlalu

Akhirnya aku menjelma menjadi sosok yang harusnya dewasa

Tapi ternyata tumbuh besar tidak seenak itu

Seringkali aku harus terjatuh

Setiap kali aku harus berpikir banyak hal

Beberapa kali nafasku habis

Bebas pun tidak sebebas itu

Ibarat burung dirantai kaki

Bisa terbang tapi hanya sepanjang tali

Tua itu pasti, dewasa itu pilihan, kata mereka

Tapi kataku jadi dewasa itu menakutkan.

Am I a child whose soul never grow?

2. Shine

“Kamu harus bersinar. Supaya kamu dilihat orang lain.”

Mungkin kalimat itu sempat tertanam cukup lama.

Aku harus bersinar supaya terlihat.

Yang saat itu belum disadari, bahwa bersinar butuh energi.

Bahwa suatu saat energi bisa habis.

Sampai suatu hari aku tiba di kesimpulan.

Tak apa, jika kamu tidak bersinar sehari.

Matahari pun kadang tertutup awan mendung.

Tak apa, yang penting kamu tetap bertumbuh.

Meskipun mungkin tidak disadari oleh yang lain.

Tak apa, kalau yang lain tidak melihatmu.

Karena pandangan dan ekspektasi yang lain bagai mahkota.

Indah tapi berat. Rasanya tidak nyaman di kepalamu.

Karena dirimu adalah apa yang ada di dalam dirimu, bukan apa yang orang lain tetapkan atasmu.

Karena eksistensimu bukan berdasarkan validasi orang lain.

“Tak apa kalau kamu tidak bersinar hari ini. Yang penting kamu bertumbuh.”

1. Good work, today

Satu kalimat yang selalu aku ulang sebelum aku tidur.

“Good work, today. Now go to sleep, and do well again tomorrow.”

Meskipun tidak semua hari cerah. Dan tidak setiap hari juga berjalan indah. Tapi aku layak dihargai, kita layak dihargai. At least, we’ve tried.

Aku layak mandi air hangat setelah hari yang lelah.

Aku layak makan mie instan setelah bekerja seharian.

Kamu layak nonton drama Korea setelah pusing dengan kerjaan.

Kita layak bahagia karena kita ingin dan memang kita layak.

Words in my head = knives in my heart

Kalau pernah denger Human-nya Christina Perri pasti ngga asing sama frasa di judul. Di bacotan kali ini entah kenapa pengen nulis (nggrundel -trans. menggerutu lebih tepatnya) tentang basa-basi yang basi beserta dampaknya terhadap kehidupan umat masyarakat. Aku sekadar pengen nulis tentang omongan orang yang sempat ‘menyentil’ dengan tidak hormat ke dalam relung hatiku yang semi-sensitif ini wkwk

Dulu, aku adalah orang terbodoamat yang pernah ada. Mau orang ngomong apa, aku bakal tetap lanjutin apa yang pengen aku lakuin asalkan ngga ngerugiin orang lain. Tapi entah sejak kapan, aku jadi mulai mikirin omongan orang. Dan beberapa omongan itu ada yang aku inget sampai sekarang karena dampak emosionalnya cukup besar.


Yang pertama ini dampak emosionalnya lumayan dalem, guys. Kadang kalau inget masih suka sedih. Hehe.

Kejadiannya di sekitar tahun 2016. Sebagai prolog, aku pernah cerita di post sebelumnya kalau aku ini anaknya ketu alias kecil tua dan nge-plan segala sesuatu sebelum ngapa-ngapain. I’d always set the target before take the first step. Termasuk dalam dunia pendidikan. Aku udah nge-set goal-ku setelah lulus kuliah beserta beberapa tahun setelahnya sejak aku mutusin mau kuliah dimana, which is itu sekitar waktu aku kelas 11. Kebayang dong gimana mataku udah terfokus pada satu hal itu. (1st mistake found: not making alternative plans)

I’m not gonna tell you what the plan is, because it still hurts knowing that I have to let go of that so-called dream. It’s really painful to see the one who always shouted “we should never give up on our dreams” turned to be a quitter. Hope none of you have to overcome the same feeling. *mengelap mata dengan tisu*

Kembali ke garis besar cerita, di 2016 itu aku ketemu sama seseorang yang cukup terpandang lah. Sejujurnya sudah sejak lama aku notice kalau way of life kami beda. Kami memegang prinsip yang berbeda. Kami berdiri di tempat berbeda dan kami memandang dunia dengan cara yang berbeda. But still I respect them. (singular ya, ini biar gender-independent aja hehe). Memancinglah beliau dengan pertanyaan “Abis lulus mau ngapain?”. Dengan kepala tegak, menjawablah aku, “Mau [redacted1] lalu [redacted2] setelah itu [redacted3].” Mantap banget dong, iya lah udah disiapin dari 3 tahun sebelumnya. *sombong*

Dan respon beliau, “Kamu ngga kasihan sama orangtua kamu? Liat semenjak kamu kuliah di Bandung, berapa kali orangtuamu sakit.”

I’ve always considered myself as a selfish person, tapi aku nggak pernah secara serius nganggep diriku egois kecuali di titik itu. Aku diam karena otak-ku nge-hang. Dan sadly, orangtuaku memang beberapa kali sakit semenjak aku kuliah. Aku ngerasa menghidupi mimpiku ternyata salah. Ternyata prinsip aku bahwa hidup harus ngejar keinginan kamu itu salah. Itu semua cuma tindakan egois. And I made my own sacrifice. I threw that big dream to a trash can.

Dan pribadiku berubah drastis semenjak itu. Orang lain mungkin ngga notice, tapi aku ngerasa banget kata-kata itu bikin aku jadi orang yang berbeda. Aku yang dulu kayak nggak bakal kenal sama aku yang sekarang. Semenjak itu, haluanku rasanya hilang. Kehidupan akademikku sempat berantakan selama dua semester. Karena aku mikir, “Buat apa aku capek-capek lari, kalau aku tahu aku nggak bakalan sampai”. Untungnya, aku segera sadar (nggak segera deng, kan dua semester) kalau aku berusaha di kuliah nggak semuanya cuma buat [redacted].

Tapi yang jelas karena omongan tersebut, mimpiku nggak pernah kembali. Aku yang seorang pemimpi juga nggak pernah kembali.


Nah, yang kedua ini adalah alasan aku nulis ini sebenarnya. Entah kenapa tiba-tiba keinget dan jadi kesal kembali hehe. Kalau yang tadi ada hawa-hawa mellow-nya, yang ini emosinya lebih ke arah amarah. Wkwkwk

Kita semua tahu lah, ya. Kadang momen lebaran itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Ya gimana nggak sebel kalau terus-terusan dicecar sama pertanyaan basa-basi yang nggak dianggap penting sama penanya tapi bikin sakit hati yang ditanya. Pasti khatam dong daftar pertanyaannya.

Kapan wisuda? Kalau udah sidang.

Kapan nikah? Kalau udah akad.

Calonnya mana? Masih di masa depan.

Sekarang gendutan ya? Alhamdulillah.

Ini adalah jawaban aku setiap ditanya orang-orang. Agak gedek tapi rasanya nggak ada yang lebih gedek dari celetukan seseorang di lebaran 2018 lalu.

“Sekarang gendut banget ya? Iya, lah. Pasti di Bandung kerjaannya makan sama tidur doang, kan?

I’m totally fine to be called gendut, item, dekil or whatsoever. Ya karena emang begitu adanya. Tapi aku kesel kalau ada embel-embel yang menurut aku nggak bener apalagi yang mengarah ke meremehkan.

Aku pernah bilang sih ke beberapa orang, aku bisa tersinggung sama jokes, “Kamu ngapain mandi? Kayak biasanya mandi aja. Mandi, nggak mandi, juga tetep dekil kok”. Sensitif, ya? Emang. Enak aja dibilang kayak biasanya mandi aja. Nggak tahu aja dia aku harus mandi 2 sampai 4 kali sehari. Tapi ini masih tolerable, lah. Masalah mandi doang.

Tapi dikatain gendut dengan embel-embel di Bandung makan sama tidur doang itu menyakitkan, dude. Apalagi aku hidup di lingkungan yang biasanya selepas SMA, anak tuh udah kerja dan ngasih ke orangtua. Dibilang kayak gitu, aku ngerasa kayak disindir dan dianggap jadi beban orangtua.

Yang lebih menyakitkan sebenarnya bahwa mengetahui apa yang aku lakuin di tanah rantau sama sekali nggak dilihat. Ya, emang aku nggak cerita ke semua orang alasan aku gendut. Aku nggak cerita kalau aku gendut karena di weekdays selalu makan di atas 9 malam karena sibuk nugas sama himpunan. Aku nggak bilang kalau di weekend aku masih harus makan tengah malam karena masih di jalan harus otw Bandung-Cibubur demi nyari uang tambahan. Orang lain selain keluargaku, nggak tahu kalau dibalik aku yang gendut karena dikira makan-tidur-kayak-babi itu berjuang supaya financially independent. Orang nggak tahu, karena aku nggak cerita. Aku nggak cerita, karena itu nggak relevan.

Yang aku nggak habis pikir, kok orang bisa ya basa-basi dengan kata-kata yang se-irelevan itu? Rasanya basa-basi “Hari ini cerah, ya.” terdengar lebih enak meskipun membosankan.

(Note: aku diet bukan karena itu ya guys meskipun mungkin ada andilnya)


Poin yang pengen aku sampein adalah mind your words because your words matter. Pengingat juga buat aku yang kadang bercandanya kelewatan 😦

Inget, kita nggak pernah tahu ada apa di balik senyum seseorang. Mungkin dia nyimpen luka. Mungkin dia struggle sama dirinya sendiri. Jangan sampai kata-kata basa-basi yang kita ucap tanpa dipikir itu jadi bahan pikiran orang. Jangan sampai kejadian our words in their head become knives in their heart. Jangan sampai kita ‘ngebunuh‘ persona seseorang dan ngebuang mimpinya. Kita sebenarnya udah cukup khatam kok dengan resikonya. Cuma kadang kita abai aja sama itu semua.

Ih tapi kan aku nggak maksud kayak gitu

Kamu nggak bermaksud kayak gitu bukan berarti lukanya ilang, sayang 🙂 Coba nih tanganmu tak silet terus aku bilang “Aduh aku nggak bermaksud nyilet tanganmu.” Apakah lukanya ketutup? Oh, tentu tidak. Makanya mind your words. Karena kita nggak bisa unheard apa yang udah masuk otak. Begitu pun orang lain.

Buat yang ngomong, “Yaudah sih nggak usah dipikirin,” “Mikirin banget sama omongan orang”. Cuy, it’s easier said than done. Buat kamu gampang nggak mikirin, buat orang lain belum tentu. Buat kamu sekarang gampang buat bodo amat, buat kamu besok belum tentu. Baca prolog aku deh, and see what I’ve become 🙂

Sekali lagi, mind your words. Your words matter.

Live in THIS Moment

Salah satu motivational quote yang sering aku (dan mungkin orang lain) misinterpret adalah:

Hidup itu fokus ke depan, bukan ke belakang.

Misinterpret gimana nih maksudnya? Masa hidup fokus ke belakang?

Dalam kasusku, bukan salah quote-nya. Tapi interpretasiku yang over. Jadi mungkin istilah yang lebih pas over-interpreting, instead of misinterpreting.

Frasa fokus ke depan kadang diartikan sebagai memikirkan masa depan. Bener, ngga ada yang salah sama sekali. Sayangnya, yang sering aku lakukan adalah terlalu memikirkan masa depan. Sampai akhirnya jadi lupa kalau banyak hal yang bisa dilakukan sekarang dan banyak hal yang bisa dinikmati di momen ini. Akibatnya, yang namanya ‘momen sekarang’ itu banyak yang terbuang dan kurang diapresiasi. Sayang banget ya? Padahal yang namanya ‘sekarang’ itu, momennya ngga akan pernah terulang kedua kali, meskipun kata ‘sekarang’ bakal terus terulang di masa depan yang jauh sekali pun.

Yang lebih kerasa nyesek adalah ketika momennya sudah lewat, jadi banyak kata-kata “Seharusnya aku dulu…” yang muncul di pikiran sebagai akibat dari kebanyakan “Gimana kalau misal nanti…”. Padahal namanya juga ‘misal’. Artinya probabilitas kejadiannya masih 50:50 antara iya dan nggak.

Jadi, anticipation itu nggak penting, dong? Ya bukan begitu juga. Penting, tapi bukan segalanya. Karena segalanya itu adanya di masa sekarang, di saat ini, bukan di masa depan yang belum tentu kejadian. Antisipasi boleh, harus bahkan, tapi jangan berlebihan.

Contoh kasusnya gini deh. Aku mau liburan ke Bali. Akan sangat membantu kalau aku udah nyusun plan A, B, C, D, dst. Perencanaan dan mikirin risiko itu penting. Tapi jangan sampai merembet ke hal-hal yang terlalu jauh yang sebenernya ngga perlu dipikirin. Misal, “Aduh, kalau besok bandaranya tutup gimana ya?” padahal lagi ngga ada apa-apa. “Kalau misal ada tornado gimana dong?”, “Kalau ternyata hotelnya fiktif gimana?”, sampai akhirnya lupa packing. Makanya, yuk belajar live in this moment!

Pikirin apa yang ada di depan, tapi rasanya akan lebih baik kalau fokus utamanya ada di masa sekarang. Dinikmati pelan-pelan karena ngga bakal terulang. Kalau ternyata di jalan di depan ada hal yang di luar kendali, ya udah ngga apa-apa. Ikhlasin, cari solusi. Toh, ngga semua hal harus ada dalam kendali kita, kan?

Kalau aku jadi lilin: If I were a candle

Dulu di zaman sebelum ada lampu, lilin dan kawan-kawan pelita lainnya akan menjadi yang pertama dicari saat gelap datang. Tapi di antara geng pelita, penyadur cahaya ini, rasanya lilin jadi one of a kind. Kenapa? Karena sepertinya lilin jadi satu-satunya yang menerapkan prinsip self-destruction. Widih, serem abiez.

Obor, lampu petromaks, dan lampu minyak tanah akan membakar bahan bakarnya sampai habis dan menghanguskan sumbunya sampai ujung. Tapi selongsong badan yang membungkusnya tidak mereka bakar. Bambu di obor, bodi lampu petromaks dan lampu minyak tanah akan tetap ada meskipun minyak dan sumbunya habis.

Nah, lilin? Udah sumbunya hangus, badannya meleper ke mana-mana lagi. Awalnya bagus, ramping, tinggi, mulus. Setelah dinyalakan, tengahnya gosong, badannya meliuk, meleleh, meleler kemana-mana, tidak berbentuk. Cahayanya sampai meskipun raganya terkoyak.

Sampai nanti akhirnya sumbu itu terbakar sampai dasar. Raga lilin yang tadinya tinggi memanjang sudah mengalir ke kiri kanan dan membeku. Jadi lilin baru yang tidak bisa dibakar. Kecuali ada yang mau mengumpulkan, melelehkan, dan mencetaknya ulang dengan sumbu baru. Membantu lilin itu terlahir kembali jadi lilin yang baru dan siap dibakar lagi, entah untuk berapa kali lagi.

Kalau memang benar daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, lantas apakah benar lilin yang habis meleleh tidak pernah membenci api yang membakar hangus sumbunya?

Entah. Kita juga tidak pernah secara langsung bertanya pada daun yang jatuh ‘kan? Siapa tahu sebenarnya dia membenci angin. Satu lagi kesombongan manusia, menetapkan sesuatu hanya karena ia punya pikiran. Berasumsi. Kita juga tidak tahu persis, apakah lilin membenci api yang membakar habis tubuhnya.

Tapi kalau aku jadi lilin itu, belum kuputuskan apakah aku mau membenci api atau tidak. Yang aku tahu, hari ini aku lelah. Lilin itu mungkin telah letih, membakar diri seharian, menyediakan cahaya keremangan hanya untuk menatap iri pada terang lampu listrik di langit-langit. Karena selalu ada manusia yang menghargai yang gemilang dibanding yang temaram. Karena semua orang lebih suka dimandikan cahaya terang dibanding yang remang-remang. Jadi, kalau sumbunya sudah sampai di dasar, tolong jangan nyalakan lagi.

Lilin yang ini sedang tidak ingin dilelehkan lagi dan ditanam sumbu baru. Biarkan saja dia menetes ke ujung meja dan lalu membeku. Dia hanya butuh istirahat sebentar sebelum kalian bakar lagi sumbunya. Dia hanya butuh mendinginkan diri barang sebentar sebelum temaramnya kalian lupakan dengan terangnya lampu listrik di atas sana.